Jumat, 15 Oktober 2010

Syekh Yusuf (1626-1699)

Syekh Yusuf (1626-1699): Ulama, Sufi, Pengarang, Pahlawan

Catatan ringkas Taufiq Ismail


Yusuf dilahirkan pada tahun 1626 di lingkungan keluarga raja Gowa. Makassar, menuntut ilmu sejak umur 18 di Banten dan Aceh, kemudian mengembara mencari ilmu ke Yaman, Makkah, Madinah dan Damaskus. Setelah menjadi guru di Masjidil Haram (Makkah) dan dipanggil dengan gelar Syekh, pada usia matang 38 tahun pulang ke tanah air (1664), mengajar di Banten dan menjadi Mufti di istana Sultan Ageng Tirtayasa selama 18 tahun. Dia adalah guru sufi thariqat Khalwatiyah. Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Ba’alawiyah dan Syattariyah. Di antara para ulama di Banten, beliaulah yang paling disegani.


Setelah memimpin pertempuran melawan Kompeni di Banten yang dilanjutkan menjadi perang gerilya di Jawa Barat (1682-1683), dengan pasukan sebesar 5.000 orang yang terdiri dari 4.000 prajurit Banten dan Sunda, 1.000 prajurit Makassar, Bugis, dan Melayu, Syekh Yusuf ditangkap Belanda secara khianat di Mandala (selatan Cirebon) dan dibuang ke Batavia lalu ke Ceylon (1684) selama 9 tahun.


Di Ceylon Syekh Yusuf melanjutkan menulis risalah atau buku tentang tasawwuf dan agama sebanyak 16 judul, yang masih tersimpan dengan baik di perpustakaan Universitas Leiden dan Perpustakaan Nasional Jakarta. Santri-santrinya pada waktu itu adalah orang India dan Ceylon yang memasyhurkan namanya di sana. Raja India Aurangzeb Alamgir (1659-1707) sangat hormat padanya.


Karena masih melakukan kegiatan melawan Kompeni secara terselubung di Ceylon, Syekh Yusuf kemudian dibuang ke Afrika Selatan (1694) selama 5 tahun dan meninggal di sana (1699) pada usia 73. Syekh Yusuf adalah ulama pelopor yang meletakkan fondasi Islam di Afrika Selatan. Dia dimakamkan di atas sebuah bukit tempat pembuangannya di Faure, yang juga disebut Macassar. Atas desakan Raja Gowa. 5 tahun kemudian jenazahnya dibawa ke kampung kelahirannya dengan kapal laut De Spiegel.


Demikianlah Syekh Yusuf, seorang ‘alim besar, tokoh sufi, pengarang dan komandan pertempuran melawan kolonialisme yang gagah berani, akhirnya dimakamkan kembali di dekat kampung kelahirannya di Lakiung, Sulawesi Selatan (1705).


Sesudah 300 tahun Indonesia nyaris lupa total pada pejuang besar ini, selepas 2 April 1994, yaitu tepat hari 300 tahun pendaratannya di Afrika Selatan, tentulah harus ingat kembali padanya dan menjadikannya teladan luhur yang tak akan lagi terlupakan. Mari kita ukirkan nama Syekh Yusuf dengan huruf-huruf emas dalam sejarah dan meniadakan semua dongeng lama dan mitos tua dan historis tanpa bukti tarikh mengenai beliau, seorang tokoh besar yang bukan milik kampung atau daerah, bahkan bukan juga milik negaranya saja, tapi sudah melampaui batas-batas benua dan mencapai format tokoh dunia.


Jakarta, 31 Maret 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar